Keinginan, pertanda, suara hati dan berdoa

(Re-edit dari catatan di blog saya yang terdahulu, 15 Maret 2008 dan Facebook Notes, 4 Agustus 2009).

Mungkin beberapa tahun terakhir ini, saya mendengarkan beberapa cerita dari teman-teman saya bahwa mereka pada hari ini masih belum punya posisi yang baik dalam perusahaannya, belum cukup kaya secara materi, belum cukup kaya secara rohani, belum mendapatkan jodoh, belum menjadi orang yang terkenal atau terpandang…dan belum-belum lainnya. Rasanya saya juga begini seeh, punya banyak belum-belum, ha ha ha ha…

Saya (kebetulan) membaca dua cerita yang sungguh menarik hati saya, yang mudah-mudahan berguna untuk teman pembaca dan bisa menginspirasikan kita untuk meraih keinginan ataupun cita-cita.

Cerita Pertama.

Berikut ini adalah beberapa penggalan kalimat dari novel karangan Paulo Cuelho yang berjudul asli The Alchemist. Buku ini bercerita tentang Santiago, anak gembala yang mengikuti suara hatinya dan berkelana mengejar mimpinya. Perjalanan tersebut membawanya ke Tangier serta padang gurun Mesir, dan disanalah dia bertemu dengan sang Alkemis yang menuntunnya menuju harta karunnya, serta mengajarinya tentang Jiwa Dunia, cinta, kesabaran dan kegigihan. Perjalanan itu pulalah yang membawanya menemukan cinta sejatinya: Fatima, gadis gurun yang setia menanti kepulangannya.

…”Kau harus selalu tahu pasti, apa yang kau inginkan,” demikian raja tua itu pernah berkata…

…“Supaya menemukan harta karun itu, kau harus mengikuti pertanda-pertanda yang diberikan. Tuhan telah menyiapkan jalan yang mesti dilalui masing-masing orang. Kau tinggal membaca pertanda-pertanda yang ditinggalkan-Nya untukmu”…

…”Kalau kau menginginkan sesuatu, seisi jagat raya akan bekerja sama membantumu memperolehnya,” demikian kata raja tua itu.

…”Kau telah menceritakan padaku tentang mimpi-mimpimu, raja tua itu dan harta karunmu. Kau juga menceritakan pertanda-pertanda itu. Jadi, sekarang tidak ada lagi yang kutakutkan, sebab pertanda-pertanda itulah yang telah membawamu padaku. Aku bagian dari mimpimu, bagian dari takdirmu,”. “Maktub”, kata Fatima. “Kalau aku memang bagian dari mimpimu, suatu hari nanti kau pasti kembali”.

Maktub. Telah tertulis.

…“Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?” tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu. “Sebab, dimana hatimu berada, disitulah hartamu berada”…

Cerita Kedua.

Sabtu, 15 Maret 2008, harian Kompas dalam rubrik Sosok menampilkan Agustinus Wibowo. DIa adalah seorang petualang, pengembara, backpacker. Bagi Agus, menjadi backpacker adalah hidupnya, napasnya setiap hari. Sudah hampir tiga tahun dia melakukan perjalanan tanpa jeda melalui jalan darat melintasi Asia Selatan dan Tengah. Ia sedang melakukan perjalanan keliling Asia sebagai bagian dari cita-citanya keliling dunia.

Agus memulai perjalanannya dari stasiun kereta api Beijing, 31 Juli 2005 menuju Tibet, menyeberang ke Nepal, India, Pakistan Afganistan, Iran. Kemudian dia berputar lagi ke Asia Tengah, mulai dari Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ribuan kilometer dia tempuh dengan berbagai jenis moda transportasi, kereta api, bus, truk hingga kereta kuda, keledai dan berjalan kaki. Ia menghindari pesawat terbang karena menghalanginya menyatu dengan budaya setempat dan bersahabat dengan banyak orang di setiap tempat.

Agus memulai perjalanannya dengan berbekal 2.000 dollar AS dan ketika uangnya habis, dia bekerja serabutan di suatu tempat demi mengumpulkan uang untuk melanjutkan perjalanannya. Pengembaraannya ke berbagai belahan dunia tersebut kemudian ternyata telah ‘memperkaya’ hidupnya, dia kemudian bisa menguasai bahasa Hindi, Urdu, Parsi, Rusia, Tajik, Kirghiz, Uzbek, Turki dan sekarang dalam proses menguasai bahasa Arab, Armenia dan Georgia. Selain tentu saja, dia sudah fasih bahasa Inggris, Mandarin, Indonesia dan bahasa Jawa.

Yang menarik adalah…

Pertama, ketika dia masih duduk di bangku sekolah dasar di kota asalnya, Lumajang, gurunya bertanya tentang cita-citanya dan Agus menjawab ingin menjadi turis. Kemudian gurunya berkata kalau turis itu bukan pekerjaan, bukan cita-cita. Bertahun kemudian Agus merealisasikan kata-katanya di sekolah dasar tersebut.

Kedua, adalah salah satu penuturan Agus, “Saya berubah dari seorang kutu buku menjadi pengembara tahan banting. Perjalanan mengajarkan saya bahwa hidup ini cantik sekaligus buruk rupa, berwarna sekaligus kelabu. Saya belajar tidak mengeluh dan selalu bersyukur”.

Hari ini jika anda mengetikkan nama Agustinus Wibowo di Google, namanya akan muncul di halaman pertama. Dia telah menulis 3 buku dari hasil perjalanannya, Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol. Agustinus Wibowo telah pergi kemana hatinya berada, yaitu menjadi turis, menjadi backpacker… Jika anda tertarik membaca kisah hidup dan profilnya, anda dapat melihatnya di link berikut.

Tentang Agustinus Wibowo

+++

Teman, berikut adalah beberapa kata yang mungkin berguna bagi kita.

Tahu yang kita inginkan. Membaca pertanda. Mendengarkan suara hati. Berdoa agar Allah dan seluruh jagat raya membantu kita.

Berani berubah, tetap semangat, tidak mengeluh dan selalu bersyukur !

This entry was posted in Kekayaan dari dan antara jiwa and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment