Gundul Gundul Pacul, sebuah filosofi yang dalam dan mulia

Masih ingat lagu “Gundul gundul Pacul” ? Bagi teman-teman yang berasal dari Jawa mungkin tidak asing lagi dengan lagu ini, lagu yang biasa kita nyanyikan sewaktu kita berkumpul dengan teman-teman, baik di lingkungan rumah maupun disekolah. Tembang Jawa ini konon diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan teman-temannya yang masih remaja di abad 14.

Dibalik liriknya yang jenaka, sebenarnya lagu ini memiliki filosofi yang dalam dan mulia, filosofi yang seharusnya dipahami dan diterapkan oleh kita sebagai manusia biasa, apalagi jika kita menjadi pemimpin dari sebuah komunitas tertentu.

Gundul gundul pacul-cul, gembelengan
Nyunggi nyunggi wakul-kul, gembelengan
Wakul ngglimpang segane dadi sak latar..

Kepala adalah lambang kehormatan dan kemuliaan seseorang, sedangkan rambut adalah mahkota lambang keindahan kepala. Gundul adalah kepala plontos tanpa rambut, maka  gundul diartikan sebagai kehormatan tanpa mahkota. Pacul atau cangkul adalah alat untuk bertani yang terbuat dari lempengan besi segi empat. Maka Pacul diartikan sebagai lambang kawula rendah, diasosiasikan dengan petani.

Gundul pacul diartikan seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota, tetapi dia adalah pembawa amanat untuk mensejahterakan rakyatnya.

Orang Jawa mengartika pacul sebagai papat kang ucul (empat yang lepas), artinya bahwa kemuliaan seseorang akan sangat tergantung pada caranya menggunakan 4 hal, yaitu bagaimana menggunakan mata, hidung, telinga dan mulutnya. Empat bagian tubuh ini harus digunakan untuk melihat, mendengarkan, merasakan bau/aroma dan menyampaikan sesuatu dengan jujur dan adil. Jika empat hal itu lepas, maka lepaslah kehormatannya. Gembelengan artinya besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya.

‎​Gundul gundul pacul cul menjadi bermakna orang yang dikepalanya telah kehilangan 4 indera tersebut yang mengakibatkan sikapnya berubah menjadi gembelengan, atau dalam bahasa Indonesia berarti  congkak dan bermain-main dalam mengerjakan sesuatu.

Nyunggi wakul artinya membawa bakul (tempat nasi) di atas kepala, sedangkan wakul dilambangkan sebagai kesejahteraan rakyat. Nyunggi wakul bermakna kesejahteraan rakyat berada diatas kehormatan (kepala) seorang pemimpin. Seorang pemimpin bukanlah pemilik bakul tetapi hanyalah pembawa bakul, pembawa amanat untuk mensejahterakan rakyat.

Nyunggi nyunggi wakul kul, gembelengan mempunyai arti seorang pemimpin yang menyalah gunakan amanat yang diberikan kepadanya dan kemudian menjadi congkak.

Jika sudah demikian, akibatnya adalah wakul ngglimpang segane dadi sak latar. Jika seorang pemimpin menjadi sombong dan bermain-main dengan amanah yang dibawanya, maka bakul nasi akan terguling dan nasi tumpah tersebar di halaman (tanah) serta menjadi kotor atau dengan kata lain kesejahteraan rakyat menjadi tidak terlaksana atau tercapai.

Sebaik-baik pemimpin, kesejahteraan rakyat berada diatas kehormatannya dan patut dijaga dengan kerendahan hati dan penuh tanggung jawab. Semoga kita menjadi pemimpin yang bisa nyunggi wakul dengan baik dan membagikan nasi ke sesama dengan adil.

This entry was posted in Kekayaan dari dan antara jiwa and tagged , , , . Bookmark the permalink.

Leave a comment